Seni Tari Jawa Tengah
Di dalam seni tari yang ada di Jawa Tengah terdapat 3 Jenis tari yaitu :
1.Tari Klasik.
2.Tari Tradisional.
3.Tari Kreasi Baru.
Seperti yang di jelaskan di bawah ini:
~TARIAN KLASIK JAWA TENGAH~
1.__Tari Bedhaya
Tema : Percintaan (asmara)
Perkembangan :
Tari
Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB
II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak
diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.:
59-60). Dari sekian banyak gendhing Bedhaya hanya tinggal Gendhing yang
masih dapat diketahui tarian diantaranya Bedhoyo Durudasih, Bedhaya
Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja,
Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit
dan Bedhaya Ketawang.
Banyak tari Bedhaya yang hilang
atau tidak tergali, disebabkan adanya larangan dari pihak kraton
Surakarta bahwa tari dan karawitan milik kraton tidak diperbolehkan
untuk dipelajari secara privat atau ditulis (didiskripsikan). Bila
menginginkan belajar harus di dalam kraton, di samping itu ada peraturan
yang membatasi bahwa yang boleh belajar tari hanyalah wanita yang belum
menikah. Dengan demikian dapat dimaklumi jika jarang penari dapat
mendalami tarian dengan sungguh-sungguh (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara:
September 1997).
Diantara 11 bentuk tari Bedhaya yang
dianggap paling tua adalah Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang
sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, disajikan hanya
untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi
kraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu pusaka,
sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan diberlakukan
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun demikian tidak berarti
semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum,
maka diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk
sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan
sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata (G.R. Ay.
Moertiyah, Wamancara: September 1997). Menurut Gusti Puger bahwa tari di
samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut
kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan
tari-tari di lingkungan kraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa
kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pengageng Parentah
Keputren, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi
dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di sampik
menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di keputren termasuk
menjaga keamanan, untuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih
beta diri.
Sekitar tahun 1970-an, pada masa PB XII,
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh
masyarakat di luar kraton, yang memanfaatkan kesempatan pertama kali
Ketika itu adalah ASKI/PKJT sebagai salah satu lembaga pendidikan dan
lembaga budaya yang berkedudukan di Sasana Mulyo Baluwarti. Mulai saat
itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur latihan
dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya hingga
sekarang tari Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok
kraton. (G.R. Ay. Moertiyah, Wawancara: Oktober 1997).
Gerak
Tari : sembilan orang penari dengan menggunakan tata busana dan rias
wajah serta tata rambut yang sama. Masing-masing penari membawakan
peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu: Batak, Gulu, Dhadha, Endhel
Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, Bancit. Ki
Hajar Dewantara menyatakan bahwa yang dinamakan Bedhaya yaitu rakitan
penari sembilan orang yang diatur secara rytmische figures dan standen,
masing-masing penari memiliki rol sendiri-sendiri, yaitu endel, gulu,
dada, batak, buntil, dan empat orang pengapit. Tari Bedhaya memiliki
rhytme berbeda sekali yaitu lebih halus dan tenteram dalam gerakannya.
Jenis Instrumen : Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang, gong
(gemelan laras pelog, tanpa keprak)
2.__Tari Gambyong
Tari
Gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu
atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Ciri khas, selalu dibuka dengan
gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari
mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang dan gending.
Instrumen : gender, kendang, kenong, kempul, dan gong
Perkembangan : Awal mula istilah Gambying tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek.
Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta.
Penari
ini juga dsiebutkan dalam buku "Cariyos Lelampahanipun" karya Suwargi
R.Ng. Ronggowarsito (1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek
yang bernama Gambyong yang memiliki kemnahiran dalam menari dan
kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
Gerak tari
Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan
dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi
dalam
tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak
tangan dengan memandang jari-jari tangan ,menjadikan faktor dominan
gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat
sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis.
Sebagai contoh , pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah-langkah kecil),
nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan
diletakkan di depan kaki kiri, kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak
kaki tetap merapat ke lanati). Gerak kaki yang spsifik pada tari Gambyong adalah gerak embat
atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak bergerak ke bawah dan ke atas.
Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangklaian gerak,
yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya.
Sedangkan
perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung,
yaitu srisig, singket ukel karana, kengser, dan nacah miring. Selain itu
dilakukan pada rangkaian gerak berjalan
(sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg).
3.__Tari Bondan
Tari
Bondan adalah tari yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. seorang
anak wanita dengan menggendong boneka mainan dan payung terbuka, menari
dengan hati-hati di atas kendi yang diinjak dan tidak boleh pecah.
Tarian ini melambangkan seorang ibu yang menjaga anak-anaknya dengan
hati-hati.
Tari ini dibagi menjadi 3, yaitu Bondan Cindogo, Bondan
Mardisiwi, dan Bondan Pegunungan/ Tani. Tari Bondan Cindogo dan
Mardisiwi melambangkan seorang ibu yang menjaga anaknya yang baru lahir
dengan hati-hati dan dengan rasa kasih sayang . Tapi Bondan Cindogo
satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang
pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa
menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.
Di tahun 1960an,
Tari Bondan adalah tari unggulan atau tari wajib bagi
perempuan-perempuan cantik untuk menunjukkan siapa jati dirinya. Hampir
semua penari Tari Bondan adalah kembang kampung. Tari Bondan ini juga
paling sulit ditarikan karena sambil menggendong boneka, si penari harus
siap-siap naik di atas kendi yang berputar sambil memutar-mutarkan
payung kertasnya. Penari Tari Bondan biasanya menampilkan Tari Bondan
Cindogo dan Mardisiwi memakai kain Wiron, memakai Jamang, baju kutang,
memakai sanggul, menggendong boneka, memanggul payung, dan membawa
kendhi. Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang
Ginonjing. Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri
asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal
pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi
gendhing.
Ciri tarian :yaitu mengenakan
pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan
membawa alat pertanian. Bentuk tariannya pertama melukiskan kehidupan
petani kemudian pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan
dilepas satu demi satu dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari
seperti gerak tari Bondan Cindogo atau Mardisiwi.
4.__Tari Srimpi
Tarian Serimpi merupakan tarian bernuansa mistik yang berasal dari Yogyakarta. Tarian ini diiringi oleh gamelan Jawa.
Tarian
ini dimainkan oleh empat orang penari wanita. Gerakan tangan yang
lambat dan gemulai, merupakan ciri khas dari tarian Serimpi. Tarian
srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian
karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada
tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri
berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja.
Tarian ini melambangkan bekal untuk kematian (dari arti Sangopati)
diperuntukan kepada Belanda.
Tarian yang ditarikan 4
putri itu masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan
bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga
melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak,
Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang
Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu
Srimpi Anglir Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka
untuk konsumsi masa kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan
baru :
~Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
~Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
5.__Tari Beksan Wireng
Beksan
Wireng : berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit
yang unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman
pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau
tangkas dalam olah keprajuritan dengan menggunakan alat senjata perang.
Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam latihan perang dengan
menggunakan alat perang.
Ciri-ciri tarian ini :
-- Ditarikan oleh dua orang putra/i
-- Bentuk tariannya sama
-- Tidak mengambil suatu cerita
-- Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
-- Bentuk pakaiannya sama
-- Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending
sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng
-- Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian
diteruskan gendhing ketawang
-- Tidak ada yang kalah/menang atau mati.
~TARI TRADISIONAL JAWA TENGAH~
1.__Kuda Lumping
Tema : berisi unsur hiburan, religi, unsur ritual.
Kuda
Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda
tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun
catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat
verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon,
tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata
terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah
Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari Kuda Lumping
menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan
Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian
ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin
Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan
Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya,
tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran
sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari
gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman
bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali
dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang
mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi
mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di
atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan
kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan
Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk
melawan pasukan Belanda.Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi
tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan
perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Gerak
tari : Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping
ini menghadirkan 4
fragmen
tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon
Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh
para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa
penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan
musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami
kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari
fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran
menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan
tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat
kompak dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan
kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap
pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan
supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam
yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga
kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.
Pada
fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang
wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari
seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Jenis Instrument : Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret
2.__Jathilan
Jatilan
adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur latar
belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa.
Tari
yang selalu dilengkapi dengan property berupa kuda kepang ini lazimnya
dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak sadar diri pada
salah seorang penarinya.
Penari jatilan dahulu hanya berjumlah 2
orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam
formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan
naik kuda dan bersenjatakan pedang.
Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi memakai topeng.
Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet, gendruwo dan barongan.
Reog
dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak
berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan
juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten
atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau
midhang kepasar.
Anggota penari : Terdapat sekitar 35 orang
dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh
instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau
ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator
pertunjukan (pawang).
Para penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping.
Di
antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama
Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang
hitam.
Kedua tokoh ini berfungsi sebagai pelawak, penari dan
penyanyi untuk menghibur prajurit berkuda yang sedang beristirahat
sesudah perang-perangan.
Ketika menari para pemain mengenakan kostum dan tata rias muka yang realistis.
Ada juga group yang kostumnya non-realistis terutama pada tutup kepala; karena group ini memakai irah-irahan wayang orang.
Pada kostum yang realistis, tutup kepala berupa blangkon atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap, umumnya hitam.
Selama itu ada juga baju/kaos rompi, celana panji, kain, dan stagen dengan timangnya.
Puncak
tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance
(tak sadarkan diri tetapi tetap menari) pada para pemainnya.
Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.
Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui.
Pertunjukan ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya diadakan pada siang hari.
Pertunjukan
akan berlangsung selama satu hari apabila pertunjukannya memerlukan
waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak.
Bagi
group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam sehari dia
hanya akan main 2 babak. Pada umumnya permainan ini berlangsung dari jam
09.00 sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan
berlangsung pada malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam
20.00 dan berakhir pada jam 01.00 dengan menggunakan lampu petromak.
Tempat pertunjukan berbentuk arena dengan lantai berupa lingkaran dan lurus.
Instrumen : kendang, bendhe, gong, gender, saron, kepyak
3.__Kethek Ogleng
Kethek
Ogleng merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang masih
berkembang dengan bentuk yang beragam di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah.
kisahnya menceritakan seekor kera jelmaan raden gunung sari dalam
cerita panji dalam upaya mencari dewi sekartaji yang menghilang dari
istana.untuk mengelabuhi penduduk agar bebas keluar masuk desa dan
hutan,maka raden gunung sari menjelma jadi seekor kera putih yang lincah
dan lucu.
Tari Kethek Ogleng ini dalam mengekspresikannya
menggambarkan gerak-gerik sekelompok kera putih.dalam tarian ini
terlintas ungkapan kelincahan,kebersamaan,semangat,kelucuan dan
atraktif.
Iringannya menggunakan instrumen gamelan
jawa,alat perkusi tradisional dan penggaran olah vokal yang tetap
menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.
Sekilas Cerita asal usul Kethek Ogleng :
Kethek
Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek
(kera). Tarian ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi Kecamatan
Nawangan bertahun-tahun lamanya. Biasanya tarian ini dipentaskan pada
waktu hajatan masyarakat setempat. Tarian Kethek Ogleng ini berasal dari
sebuah cerita Kerajaan Jenggala dan Kediri.
Raja Jenggala
mempunyai seorang putri bernama Dewi Sekartaji dan Kerajaan Kediri
mempunyai seorang putra bernama Raden Panji Asmorobangun. Kedua insan
ini saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan yang
harmonis dalam sebuah keluarga. Hal ini membuat keduanya tidak dapat
dipisahkan.
Namun, raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji,
mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria
pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki
pilihan ayahandanya-yang tentunya tidak dia cintai, dia diam-diam
meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayahanda dan
seluruh orang di kerajaan. Malam hari, sang putri berangkat bersama
beberapa dayang menuju ke arah barat.
Di Kerajaan Kediri, Panji
Asmorobangun yang mendengar berita menghilangnya Dewi Sekartaji
memutuskan untuk nekad mencari Dewi Sekartaji, sang kekasih. Di
perjalanan, Panji Asmorobangun singgah di rumah seorang pendeta. Di sana
Panji diberi wejangan agar pergi ke arah barat dan dia harus menyamar
menjadi kera. Sedangkan di lain pihak, Dewi Sekartaji ternyata telah
menyamar menjadi Endang Rara Tompe.
Setelah Endang Rara Tompe naik
turun gunung, akhirnya rombongan Endang Rara Tompe, yang sebenarnya
Dewi Sekartaji, beristirahat di suatu daerah dan memutuskan untuk
menetap di sana. Ternyata kethek penjelmaan Panji Amorobangun juga
tinggal tidak jauh dari pondok Endang Rara Tompe. Maka, bersahabatlah
mereka berdua. Meski tinggal berdekatan dan bersahabat, Endang Rara
Tompe belum mengetahui jika kethek yang menjadi sahabatnya adalah Panji
Asmorobangun, sang kekasih, begitu juga dengan Panji Asmorobangun, dia
tidak mengetahui jika Endang Rara Tompe adalah Dewi Sekartaji yang
selama ini dia cari.
Setelah persahabatan antara Endang Rara Tompe
dan kethek terjalin begitu kuatnya, mereka berdua membuka rahasia
masing-masing. Endang Rara Tompe merubah bentuknya menjadi Dewi
Sekartaji, begitu juga dengan kethek sahabat Endang Rara Tompe. Kethek
tersebut merubah dirinya menjadi Raden Panji Asmorobangun. Perjumpaan
antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji Asmorobangun diliputi perasaan
haru sekaligus bahagia. Akhirnya, Dewi Sekartaji dan Raden Panji
Asmorobangun sepakat kembali ke kerajaan Jenggala untuk melangsungkan
pernikahan.
4.__Sintren
Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Pekalongan.
Sejarah
: Kesenian Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki
Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono
memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun
hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya
R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun
demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui
alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang
memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R.
Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui
Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti
dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut
dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Bentuk
pertunjukan : Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci,
dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam
perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi
dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
Dalam permainan
kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan
Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk
masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil
diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan
tarian lebih lincah dan mempesona.
Instrumen : gamelan khas laras slendro
5.__Tari Jlantur
Sebuah
tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat kepala
gaya turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan
senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan
berangkat ke medan perang, dahulu merupakan tarian penyalur semangat
kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.
~TARI KREASI BARU JAWA TENGAH~
1.__Tari Prawiroguno
Tari
ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng
sebagai alat untuk melindungi diri.
2.__Tari Ronggeng
a) Nama Tarian : Tari Ronggeng
b) Asal : Jawa
c) Fungsi : Sebagai hiburan.
d) Tema : Erotis
e) Pencipta : Endang Caturwati
Tarian ronggeng memang berbeda dengan tarian lainnya. Gerak tarian ronggeng lebih ekspresif bahkan mengarah ke eksotis.
Goyang,
geol, gitek adalah ciri khas tarian ronggeng. Dengan ciri khas inilah
seni ronggeng menjadi identik sebagai seni yang mampu membuat kaum
lelaki bangkit libidonya, sehingga akhirnya citra seni ronggeng menjadi
sangat jelek.
Tari ronggeng sebenarnya merupakan bagian dari
upacara untuk meminta kesuburan tanah. Upacara ini dilakukan supaya
hasil pertanian warga melimpah ruah. Karena terkait dengan kesuburan
inilah, gerakan dalam tarian dengan penari laki-laki yang disebut
bajidor ini, mirip gerakan orang yang sedang bercinta.
Pergeseran
mulai terjadi di zaman kolonialis. Sejak era kolonial Portugis hingga
Belanda dan Jepang, ronggeng dijadikan sebagai hiburan di daerah
perkebunan. Tak hanya bagi pekerja perkebunan, Ronggeng merupakan
hiburan bagi kaum penjajah saat itu. Walhasil, sejak saat itulah
ronggeng tak lagi sekadar sebagai ritual adat. Sebagai hiburan, seni,
ronggeng akhirnya lebih banyak bermuatan unsur erotis, mulai dari cara
berpakaian penari, gaya tarinya, bahkan hingga perilaku di atas panggung
yang lebih memancing birahi kaum adam.
3.__Tari Kumbang
a) Nama Tarian : Tari Kumbang
b) Asal : Propinsi Yogyakarta/Jawa Tengah
c) Fungsi : Sebagai hiburan.
d) Tema : Erotis
Deskripsi :
Tari ini menggambarkan sepasang kumbang (jantan dan betina) sedang
mengisap sari bunga di taman, berterbangan ke sana ke mari sambil
berkejar-kejaran. Kumbang jantan dan betina memadu kasih dengan suasana
romantis di taman bunga. Penonton yang menyaksikan akan diajak
berimajinasi dalam suasana romantis, bahwa antara laki dan perempuan.
4.__Tari Wira Pertiwi
a) Nama Tarian : Tari Wira Pertiwii
b) Asal : Jawa Tengah
c) Fungsi : Sebagai hiburan
Tarian
ini merupakan kreasi baru ciptaan Bagong Kussudiardjo yang
menggambarkan sosok kepahlawanan seorang prajurit putri Jawa. Ketegasan,
ketangkasan dan ketangguhan seorang prajurit tergambar dalam gerak yang
dinamis.
5.__Tari Beksan Gatotkaca vs Suteja
v Nama Tarian : Beksan Gatotkaca vs Suteja.
v Asal : Yogyakarta.
v Tema : Peperangan.
v
Latar belakang : Beksan Gatotkaca vs Suteja merupakan bagian dari
sebuah sajian wayang wong gaya Yogyakarta dalam kisah Rebutan Kikis
Tunggrana.
v Isi : Dalam tarian ini,
dikisahkan perjuangan dari Gatotkaca maupun Suteja dalam mempertahankan
batas wilayah kekuasaannya yang berupa hutan, bernama Hutan Tunggrana.
Akhirnya jalan penyelesaian yang terpaksa dipilih adalah melakukan
perang tanding. Keduanya dikisahkan melakukan perang tanding dengan naik
kendaraan berupa burung garuda.
v Fungsi : Sebagai hiburan.
v Keunikan
Ø
Gerak : Gerak-gerak penari membentuk sudut (tarian putra
gagah). Perang yang terjadi berlangsung sengit sehingga lebih menarik
perhatian orang yang melihatnya.
Ø Kostum : Pakainya tampil sederhana dengan memperlihat-kan kekekaran diri penari.
Ø Iringan : Iringannnya cepat dan tegas sehingga menimbulkan kesan gagah penarinya.
NB
: Sebagai Admin saya juga mengakui adanya kekurangan dalam membuat
artikel Seni Tari di atas. Jika ada info tarian yg sekiranya ada
kesalahan, admin mohon maaf~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar